Minggu, 09 Desember 2012

Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan

Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini  mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.

Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.

Paradigma integratif-interkonektif  yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities. tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya

Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm

 Skema Single Entity
   
Skema Isolated Entities

Skema Interconected Entities


Dari skema di atas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika
atau tegur sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga.Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).

Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keislaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.

Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemology Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemology irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak  dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.

Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni. Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin,  Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet II.