Minggu, 09 Desember 2012

Paradigma Integratif-Interkonektif dan Relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan

Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan sekuler dan keilmuan agama (baca ilmu keislaman). Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini  mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia.

Selain dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Era globalisasi yang seolah datang dengan perubahan yang cukup fundamental dimana sekat-sekat antar individu, bangsa seolah sudah tidak ada lagi sehingga memunculkan kompleksitas persoalan.

Paradigma integratif-interkonektif  yang ditawarkan oleh Amin Abdullah ini merupakan jawaban dari berbagai persoalan diatas. Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities. tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya

Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm

 Skema Single Entity
   
Skema Isolated Entities

Skema Interconected Entities


Dari skema di atas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk dialektika
atau tegur sapa. Hal inilah yangmenjadi tolak ukur signifikansi dalam penerapan integrasi-interkoneksi dalam keilmuan UIN Sunan Kalijaga.Tiga demensi pengembangan keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislmanan (integrasi-interkoneksi).

Sementara itu, sebagaimana yang terlihat dalam jaring laba-laba diharapkan dengan paradigma integratif-interkonektif akan terjadi perkembangan dalam ilmu keislaman, dimana tidak lagi terfokus pada lingkar 1 dan lingkar ke 2 tetapi juga melangkah pada lingkar ke 3 dan ke 4. Selama ini pengajaran di perguruan tinggi agama masih berkutat pada lingkar 1 dan ke 2 dan masih baru akan memasuki lingkar ke 3 serta belum menyentuh pada lingkar ke 4. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.

Paradigma integrative-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh Abid al-Jabiri yang membagi epistemology Islam menjadi tiga, yakni epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani. Berbeda dengan Abid al-Jabiri yang melihat epistemologi irfani tidak penting dalam perkembangan pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayani lebih banyak mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemology irfani dan burhani, pola pikir bayani ini akan bekembang jika melakukan dialog, mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir irfani dan burhani. Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak  dalam bentuk pararel ataupun linier tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linier akan berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masing-masing corak epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang ada.

Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integratif-interkonektif secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan islam (Islamic Studies), dimana dialog antar disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada. Namun demikian apa yang telah digagas oleh Amin Abdullah ini ketika diaplikasikan dalam bentuk pendidikan model UIN menurut subyektifitas penulis menjadi tidak applicable dalam pengembangan studi islam, karena dalam hal ini tenyata pekembangan IAIN menjadi UIN –sekali lagi menurut pandangan penulis- justru semakin menyisihkan keilmuan agama dari ilmu alam dan sosial humaniora dan membuat ketidakjelasan. Hal ini bisa dilihat adanya kerancuan dalam program studi yang ditawarkan, ada sosiologi agama, ada sosiologi umum, ada psikologi dan psikologi agama, kemudian jika fakultas Ushuluddin akan membuka antropologi agama dan kemudian fakultas sosial humaniora juga akan membuka antropologi maka yang tejadi adalah ketidakjelasan yang justru akan merugikan banyak pihak terutama bagi out put dari produk UIN. Dalam hal ini bisa jadi kerancuan ini akibat belum “mapannya” epistemologi dalam keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Amin Abdullah ini. Dalam hal ini penulis curiga jangan-jangan paradigma yang dibangun oleh pak Amin ini hanya untuk dijadikan legitimasi dalam mengubah IAIN menjadi UIN dan bukan untuk kebutuhan pengembangan Islamic studies murni. Disini berbeda dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang historisitas dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia saat ini dimana banyak muncul kelompok-kelompok Islam tekstualis-skripturalis dimana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek historisitas sengaja dilupakan.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin,  Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet II.



Pemikiran M Amin Abdullah : dari Normativitas-historisitas menuju Integratif-interkonektif

Ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya kedua-duanya merupakan respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum muslimin. Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.

Sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis pendekatan ini – pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek ajaran teologis.

Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut.

Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu  akan menjadikan narrowmindedness.

Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih tetap ada.

Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin,  Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet II.

Jumat, 07 Desember 2012

Perbandingan antara Sains Barat dan Sains Islam

Ukuran Sains Barat

     1.    Percaya pada rasionalitas
     2.    Sains untuk sains
     3.    Satu-satunya metode, cara untuk mengetahui  realitas.
     4.    Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas
     5.    Tidak memihak: seorang ilmuan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan            akibat-akibat penggunaanya.
     6.    Tidak adanya bias: validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapanya, dan bukan pada ilmuan yang menjalankannya.
     7.    Penggantungan pendapat: pernyataan-pernytaan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang menyakinkan .
     8.    Reduksionisme: cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains.
     9.    Fragmentasi: sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, karenanya harus dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin-subdisiplin.
    10.    Universalisme: meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya bagi mereka yang mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak.
    11.    Individualisme: yang meyakini bahwa ilmuan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis.
    12.    Netralitas: sains adalah netral, apakah iya baik ataukah buruk.
    13.    Loyalitas kelompok: hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi.
    14.    Kebebasan absolut: setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan.
    15.    Tujuan membenarkan sarana: karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi              kesejahteraan umat manusia, setiap sarana termasuk pemanfaatan hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin dibenarkan demi penelitian sains.

Ukuran Sains Islam

     1.    Percaya pada wahyu.
     2.    Sains adalah sarana untuk mendapat keridhaan Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
     3.    Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu: objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
     4.    Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
     5.    Pemihakan pada kebenaran: yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah,maka seorang ilmuan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral;mencegah ilmuan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
     6.    Adanya subjektivitas : arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif: validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaanya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuan menghargai batas-batasnya.
     7.    Menguji pendapat: pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuan adalah menjadi seorang pakar, juga mengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk mengantisipasiakibat-akibat destruktif dari aktifitas seseorang.
     8.    Sintesis: cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.
     9.    Holistik: sains adalah sebuah aktifitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalam lapisan yang lebih kecil; ia adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
    10.    Universalisme: buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual: sesuatu yang tidak bermoral.
    11.    Orientasi masyarakat: penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya.
    12.    Orientasi nilai: sains, seperti  halnya semua aktifitas manusia adalah syarat nilai; ia bisa baik atu buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat
    13.    Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya: hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaan-Nya : manusia, hutan dan lingkungan.Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya,harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.
    14.    Manajemen sains merupakan sumber yang tidak terhingga nilainya: tidak boleh dibuang-buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
    15.    Tujuan tidak membenarkan saran: tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains: keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas.

Daftar Pustaka
Butt, Nasim. 1991. Science and Muslim Society. Masdar Hilmy. Pustaka Hidayah. Bandung. 73-74.

Rabu, 05 Desember 2012

Ayat – Ayat Tentang Kebaikan dan Keburukan


“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). ”(QS.Al-An’am:160)

“apa saja ni’mat yang kamu peroleh dari Allah, dan apa sajabencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.Dan cukuplah Alloh menjadi saksi.”(QS. An-Nisa’: 79)
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang(pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yangbaik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”(QS.Hud : 114)
“Dan (ingatlah), hari diwaktu itu kami menghimpun mereka semuanya, kemudian kami berkata pada orang-orang musyrik:”Dimanakah sesembahan-sesembahan yang dahulu kamu katakan(sekutu-sekutu kami)”?”(QS. Al-An’am : 22)
“iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik(perbuatan maksiat) dimuka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.”(QS. Al-Hijr : 39-40)
Segala sesuatu yang diciptakan dan digariskan oleh Allah untuk manusia pada dasarnya adalah baik, sedangkan apabila terjadi sesuatu yang buruk, semata-mata disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri. Orang yang berbuat suatu kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala atau balasan dari Allah sekurang-kurangnya sepuluh kali-lipat, dan terus keatas sampai berlipat ganda bahkan sampai sebanyak mungkin. “Allah berfirman: Apabila hamba-Ku berkehendak akan mengamalkan suatu amalan yang jahat, maka janganlah kamu tuliskan itu alasannya sebelum dia kerjakan. Maka jika mereka kerjakan juga, tulisannya atasnya seumpamanya.Dan jika hendak mengerjakan suatu kebaikan, tetapi belum dikerjakannya, tuliskanlah baginya suatu kebaikan. Tetapi jika langsung dikerjakannya, tuliskan jugalah untuknya sepuluh kali-lipat sampai tujuh kali-lipat”.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
Dalam surat An-Nisa’ ayat 79 tersebut terdapat dua hal yang harus diketahui :
Ø Pertama, bahwa sesuatu berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan serta sunnah-sunnah untuk mencapainya dengan usaha dan pencarian. Dengan anggapan ini, maka segala sesuatu itu baik.
Ø Kedua, manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan, dia lupa dalam mengetahui dan mengetahui sunnah-sunnah dan sebab-sebab itu. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan tindakan manusia itu sendiri. Jadi, hakikatnya bukan sesuatu itu yang buruk. Denagn demikaian, keburukan disadarkan kepada manusia, penyakit umpamanya, dikatakan buruk bagi manisia itu. Itu sebenarnya disebabkan manusia lalai mengikuti fitrah dalam masalah makanan seperti kekenyangan akibat menuruti hawa nafsunya, atau berlebihan dalam kepayahan(kelelahan), atau memang dingin dan panas yang sangat, dan lain sebagainya dari sebab-sebab yang semuanya dikarenakan salah memilih. Ketika ditimpa keburukan, hendaknya seseorang mencari sebab  pada dirinya sendiri, karena keburukan itu menimpanya disebabkan ketidaktahuannya tentang sunnah-sunnah yeng telah digariskan oleh Allah, berupa pencarian sebab-sebab mendapatkan manfaat dan menghindarkan bahaya dengan menjauhi sebab-sebabnya, kemudian memilih apa yang bermanfaat baginya dan menjauhkan apa yang dapat membahayakannya.
Dalam surat Hud ayat 114 tersebut merupakan perintah untuk melaksanakan shalat menurut cara yang lurus senantiasa mendirikan pada kedua ujung siang dan setiap hari pada bagian dari malam.
Serupa dengan ayat tersebut, ialah dari Allah SWT pada surat Thaha: “Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah diwaktu-waktu malam hari dan pada waktu-waktu siang hari, supaya kamu merasa senang.”(QS. Thaha : 130)
Tasbih disini bersifat umum, mencakup  shalat dan lainnya. Adapun ayat yang tegas mengenai waktu-waktu shalat yang lima adalah firman Allah ta’ala “maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan waktu kamu berada diwaktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji dilangit dan dibumi dan di waktu kamu berada di dipetang hari dan di waktu kamu berada diwaktu dzuhur”.(QS. Ar-Rum,30:17-18).
Kemudian, Allah menerangkan pula faedah dari hal tersebut dan hikmahnya, dengan firman-Nya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami akan menghapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil), dan kami akan memasukkanmu ke tempat yang mulia(Surga)”.(QS. An-Nisa’: 31).
Dosa-dosa besar itu bisa dihapuskan kecuali dengan jalan taubat, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim : “shalat lima waktu itu penghapus dosa-dosa yang dilakukan diantara shalat-shalat tersebut, selagi dihindari dosa-dosa besar”.
Barang siapa yang datang di akhirat menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam diri orang karena kufur atau berbuat perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar, maka ganjaran siksaan yang akan diterimanya adalah setimpal dengan kejahatannya itu, sebab sudah sewajarnya bahwa suatu kejahatan meninggalkan bekas yang buruk dalam jiwa, maka itulah yang akan dibalas dengan adil oleh Allah.
Suatu kejahatan tidaklah dibalas dengan sepuluh kali-lipat siksaan. Dan orang yang tidak jelas kesalahannya tidak akan dihukum. Maka ayat ini memberikan kejelasan bagi kita bahwa sifat Rahman dan Rahim Allah lebih pokok daripada murka-Nya. Dan sifat adil-Nya adalah penyempurnaan bagi sifat Rahman dan Rahim-Nya.
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Hurairah menceritakan perintah Allah kepada malaikat-malaikat yang mencatat amalan-amalan makhuk. Allah berfirman: “Apabila hamba-Ku berkehendak akan mengamalkan suatu amalan yang jahat, maka janganlah kamu tuliskan itu alasannya sebelum dia kerjakan. Maka jika mereka kerjakan juga, tulisannya atasnya seumpamanya.Dan jika hendak mengerjakan suatu kebaikan, tetapi belum dikerjakannya, tuliskanlah baginya suatu kebaikan. Tetapi jika langsung dikerjakannya, tuliskan jugalah untuknya sepuluh kali-lipat sampai tujuh kali-lipat



Sumber: Buletin Dakwah An-Nur, edisi 64, April 2012, Tahun 2 






Sabtu, 01 Desember 2012

Mencari Titik Temu Konsep Sains dengan Ajaran Agama


Dewasa ini manusia sedang menghadapi pilihan orientasi hidup yang krusial antara memilioh agama atau sains. Para penentang agama/sekuler, menyatakan bahwa dalam menafsirkan alam tidaklah merupakan keharusan menghubungkannya dengan Tuhan,sebab mereka dapat menafsirkan alam dalam segala fase dan periodenya  berdasarkan penemuan modern tanpa menghubungkanya dengan Tuhan.Tuhan bagi mereka adalah pikiran non-esensial.Walaupun ada suatu anggapan yang demikian, tetapi hampir semua ilmuan modern sepakat bahwa semua peristiwa yang terjadi di alam berjalan menurut satu aturan sentral yang dikenal dengan law of nature (hukum alam).

Dalam menghadapi kenyataan tersebut para ilmuan ada yang menghubungkan dengan dzat pencipta (Tuhan) dan ada yang berhenti pada gejala alam .Bagi mereka yang analisinya berhenti pada gejala alam akan membuat suatu statemen yang sangat rasional dengan pendekatan ilmiah,seperti Imanuel Kant menyatakan suatu statemen ‘berikan padaku suatu benda,akan saya ajarkan anda bagaiman alam dibuat dari padanya ’;Hegel juga membuat statemen ‘saya bisa membuat manusia jika ada air,zat kimia dan wktu kesempatan’;sedang Nietzsche yang banyak dianut ilmuan Barat dengan pernyataan yang menjadi akar pemikiran filsafatnya yang mengatakan bahwa ‘Got is Dead’.lain halnya dengan mereka yang menghubungkan realitas ini dengan Dzat Pencipta, agama bagi golongan ilmuan ini merupakan alternative terbaik untuk realitas sejati.Dari dua alur pemikiran ini kemudia muncul pernyataan  falsafi,apakah hakikat final dari alam kosmos; materi,akal atau ruh?Apakah alam kosmos produk dari proses kerja materi?ataukah alam kosmos merupakan ciptaan dari kekuatan non materi?

Untuk menjawab pertanyaan ini dengan benar,perlu pengkajian kembali tentang kebenaran serta kemampuan pencarian kebenaran yang dilakukan sains, fisafat dan agama.menurut Asghar Ali Engineer , kebenaran bukanlah semata-mata kesesuaian dengan kenyataan, bukan pula suatu yang bersifat transendental  semata,ia adalah keduanya sekaligus ,Ia tidak dapat mengabaikan realitas ruang waktu tertentu.Ia juga tidak bisa mengabaikan dimensi transendentalnya ,karena kebenaran bergerak dari realitas kepada kemungkinan .Ali Imron menyatakan bahwa kebenaran yang dapat dicapai oleh filsafat,dan sains bersifat relatif, ini disebabkan kajian yang dilakukan oleh sains membatasi kepada kenyataan  (data atau fakata, fenomena dan pengalaman),sedangkan filsafat membatasi kajianya pada hakikat semua kenyataan yang didasarkan pada pendekatan rasio  murni. Pencarian kebenaran yang dilakukan oleh filsafat senantiasa terbentur oleh kemampuan pikiran manusia dalam menganalisis hakikat realitas melalui metode yang dilakukan filsafat.Untuk itu sebagai solusi alternatif untuk mencapai kebenaran hakiki hanya dapat dilakukan oleh agama, dan fungsi agama akan semakin dipertegas oleh ketidak mampuan ilmu pengetahuan menyingkap misteri kebenaran hakiki transenden yang bersifat mistis dan pengambilanya sebagai landasan berfikir ilmiah, sehingga pertentangan antara agama dan sains sebenarnya tidak perlu ada atau diada-adakan.

Ilmu pengetahuan akan mempelajari bagian alam material secara terpisah, mendapat informasi tentang setiap fenomena, mencapai kesimpulan tertentu dan menarik hukum tertentu berdasar informasi tersebut, sebaliknya agama mengajak kepada manusia untuk mempelajari alam secara keseluruhandan mengajak melihat realitas tunggal yang meliputinya. Ilmu pengetahuan mencapai sang pencipta melalui pengamatan dan eksperimen dengan ketepatan dan kepastian hokum yang mengatur fenomena alam, dan agam menunjukkan realitas intelektual dibelakangnya(Tuhan). Ketika agama menekankan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat, ia sebenarnya sedang membantu manusai yang fana dalam kesungguhan upayanya dalam menempuh jalan kebaikan  universal dan merajut nilai-nilai keabadian. Kepercayaan kepada Dzat Pencipta menurut A’isyah Abdurrahman akan menjaga manusia dari faham ketiadaan (nihilisme),yang menghancurkan kehendak hidup, karena manusia pada dasarnya memiliki bayangan bahwa kehidupan dunia yang sementara ini hanyalah ujian terhadap kemampuannya mengemban keharusan eksistensial dan amanat kemanusiaan.

1.     Keselarasan konsep Sains dengan Ajaran Islam

Alquran telah member i persepsi baru dalam membuka forum dialog azali antara Allah SWT dengan manusia.Arti agama dalam Islam diungkapkan dengan kata din,yang yang buka sekedar konsep,tetapi merupakan ungkapan yang diterjemahkan amat baik ke dalam realitas,dan dihidupi dalam pengalaman manusia.Sumber trertinggi dari pengertian din diturunkan dari riwayat al-Quran yang mengungkapkan adanya perjanjian(Al-Mitsaq) antara diri pra eksisitensi manusia dengan Tuhan.Nama Islam berarti penyerahan diri kepada Tuhan.Gagasan penyerahan diri itu sendiri sudah tercakup perasaan,iman,dan perbuatan .tetapi unsure pokok dalam tindakan penyerahan diri manusia kepada Tuhan ini adalah rasa berhutangnya kepada Tuhan karean iya telah member anugerah eksisitensi kepada manusia, sehingga rasa berhutang yang meliputi pengenalan dan pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi eksisitensi merupakan syarat pendahulu bagi penyerahan diri yang benar.   

Salah satu noktah kosmologi al-Qur’an sebagaimana yang dikemukakan Nurcholis Madjid ialah kebenaran(haqqiyya) alam ciptaan Allah ini, yaitu bahwa alam raya ini diciptakan oleh Allah dengan benar(bi al-Haq). Sebagaimana firman Allah QS.Az-Zumar,(39):5
‘Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan benar’
Kebenaran alam ini mempunyai makna yang luas sekali, antara lain karena ia itu benar atau diciptakan dengan benar, maka alam ini memiliki hakikit (haqiqah) yaitu kenyataan yang benar atau benar-benar (kebenaran hakiki). Ini bisa dipahami lebih baik dengan membandingkan kosmologi islam yang memberi gambaran semua alam (al-adam al mahdl/nirwana).

Dalam QS.Al-baqarah, (2):164.
‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam  dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu. Dia hidupkan bumi setelah mati (kering) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi .Sesungguhnya terdapat tanda-tanda (ke-Esaan,kebenaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.’

                Untuk memperjelas keselarasan antara Islam dan Sains, dapat dilihat melalui table berikut:



Dengan demikian, Islam senantiasa mendorong manusia agar mempelajari fenomena fisik ala mini. Ia menunjukkan kepada manusia bahwa materi tidak harus dipandang rendah, sebab ia memiliki tanda yang akan dapat membawa manusia lebih dekat kepada Allah. Dengan cara ini al-Qur’an menolong manusia untuk lebih dekat kepada Allah melalui observasi dan refleksi tentang dunia material, teori dan fenomenanya. Dalam ungkapan yang sederhana , al-Qur’an  berusaha menyingkap kejaiban alam dan fenomena fisik yang beragam, dan melaluinya akan dapat mendekatkan diri pada Sang Pencipta (al-Khaliq).

Ajaran Islam yang demikian ini, menurut Arkoun menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menghadapi halangan religius dalam ranah islam.al-Quran selalu mengundang orang yang beriman untuk melihat dunia ciptaan agar dapat menghargai keagungan dan kekuasaan Tuhan. Pengetahuan ilmiah tentang alam,bintang,planet,flora, dan fauna hanya akan memperkuat iman dan memancarkan hidayah simbolik al-Quran. Juga agar literatur  mirabilia (kemu’jizatan alam) menjadi jalan tengah antara pengalaman ilmiah dengan kontemplasi religius mengenai kebaikan dan kekuasaan Tuhan.

           2. Tauhid: Landasan Berfikir Ilmiah

Tauhid digunakan sebagai landasan berfikir ilmiah sebagaimana diungkapkan Ismail Raji’ Al-Faruqi dalam Tauhid Dasar Peradaban Islam, minimal memiliki tiga prinsip.

a.      Prinsip Dualitas

Yaitu realitas meliputi dua kategori umum, yaitu Tuhan dan bukan Tuhan (pencipta dan ciptaan). Realitas pertama memiliki satu anggota yaitu Allah yang bersifat mutlak dan maha kuasa. Realitas kedua berupa tatanan ruang dan waktu, pengalaman dan proses penciptaan.

b.      Prinsip Ideasionalitas

Yaitu hubungan antara dua struktur realitas (pencipta dan ciptaan ) pada dasarnya bersifat ideasional. Dasar pikiranya adalah bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan berfikir (faculty of understanding) .kemampuan ini akan dapat membawa manusia terhadap suatu pemahaman ketuhanan.

c.       Prinsip Teleologi

Yaitu hakikat kosmos (universum) bersifat teleologis, yakni bertujuan, terencana, atau didasarkan pada maksud tertentu sang pencipta. Karena inilah, ada suatu sunnatullah (natural law/hukum alam) sebagai pola yang diciptakan oleh Tuhan di dunia.

Daftar Pustaka


Habib, Zainal. 2007 . Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif.  Malang: Uin-Malang Press.