Ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya
kedua-duanya merupakan respon dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi
oleh kaum muslimin. Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang
selama ini dipahami sebagai dogma yang baku, hal ini karena pada umumnya
normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis.
Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak
pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.
Sedangkan disisi lain untuk melihat historisitas
keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan
historis, sosiologis, antropologis dan lain sebagainya, yang bagi kelompok
pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan
hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua jenis
pendekatan ini – pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang
bersifat histories-empiris ini sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan
masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling mengoreksi, menegur
dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada
dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu
menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan
teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan
berfikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalaui pendekatan
histories-empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti
aspek sosial, politik dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktek-praktek
ajaran teologis.
Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali
penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di
sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah
kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan
menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungkungan berfikir itu salah satu
sebabnya adalah paradigma deduktif, dimana meyakini kebenaran tunggal, tidak
berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan
untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan
integratif-interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respon atas
persoalan masyarakat saat ini dimana era globalilasi banyak memunculkan
kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan
tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup
tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada
paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.
Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu
justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa
saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu
akan menjadikan narrowmindedness.
Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan
pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka,
mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara
antologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka
dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan
ini masih tetap ada.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet II.
terimakasih atas informasinya..
BalasHapus